BULAN YANG BERKACA DALAM SECANGKIR KOPI DENGAN JUDUL LAIN BULAN TELAH TUMBUH RAMBUT PANJANG DENGAN JUDUL LAIN BULAN TAK LAGI BOTAK
sumber http://wallpaperindonesias.blogspot.co.id /2011/10/kumpulan-foto-bulan-yang-keren-gambar.html |
BULAN YANG BERKACA DALAM SECANGKIR KOPI
DENGAN JUDUL LAIN
BULAN TELAH TUMBUH RAMBUT PANJANG
DENGAN JUDUL LAIN
BULAN TAK LAGI BOTAK
Sebuah Embrio Kumpulan Cerita
Oleh: Hamiki (HarfanMinKitabillah)
Di
sudut malam [ada berapakah sudut malam? Begitulah tanya guru matematikaku yang
merangkap jadi guru sastra], hanya terdengar desau bayu membelai dedaunan, lalu
hening, seolah angin hanya mampu memberi walau sedikit penghormatan kepada daun
coklat yang luruh di halaman rumah, bersembunyi di sebalik jemuran pakaian yang
tak sempat lagi diangkat dan dilipat ke dalam lemari yang penuh baju kenangan.
Rembulan
telanjang jelita, mengintip malu di sebalik kelambu awan mei, seolah ia
menyembunyikan keelokan tubuhnya yang hanya boleh dilihat oleh manusia
istimewa, temaram cahayanya teramat syahdu bagai mata sayu yang berat dipenuhi
rindu, menjadi wallpaper alami bagi Badari yang berdiri seorang diri di
balkon lantai dua.
Kedua
belah tangannya menggenggam kehangatan secangkir kopi pekat, dan bulan berkaca
di dalamnya, menerka sepahit apa, mana yang lebih pahit, kenyataan hidup Badari
atau secangkir kopi.
Badari
tak sanggup menafsirkan, secangkir kopi dalam genggamannya telah hilang
kehangatan sebab bulan telah menggantinya dengan kesejukan malam yang kian
menusuk sumsum tulang belakang. Badari tenggelam dalam pekat kopinya, belum ia
temui solusi rumah tangganya yang rumit, kusut. Kian di eratkan jemari kiri dan
kanan, menyatu menjadi sepasang tangan yang saling silang, menghangatkan
kesendirian dengan sepasang tangan yang tak pernah bertemu meski hanya memeluk
diri sendiri. Dedaunan kering tadi berhamburan dalam rongga hatinya.
Sebuah
jaket penghangat berwarna kelabu terang, kini telah memudar, sebab suka
direndam lama-lama oleh Badari yang juga telah lama lupa cara benar-benar
mencuci, dikenakannya keringkih tubuh yang butuh kehangatan.
Jaket
itu seolah-olah bagian dalamnya telah jua lama merindukan kehangatan tubuh
Sabari, dan bagian luarnya yang memudar menantikan sentuhan, pelukan dari
seorang wanita yang telah membuat Badari nelangsa begini.
Jaket
itu tak mampu berjanji menemani menyelimuti kesendirian Badari, entah siapa
yang lebih lama bertahan hidup sebegini, jaketnya kah atau Badari, mereka
berdua diam, tak hendak memperpanjang debat tentang umur siapa yang lebih
panjang.
Wajah
kontrakan Badari turut muram, renta, bagai jarang mandi dan cuci muka juga
gosok gigi, dihindari, ditatap ngeri rumah-rumah yang sudah bersih lagi rapi.
Pohon mangga di beranda rumahnya juga turut nelangsa, dahan-dahannya menyentuhi
kaca jendela, dingin dinding rumah tak kuasa melihat betapa merananya pohon
mangga yang setiap saat memperdengarkan rintihan tentang betapa lebih baiknya
ia ditebang, diabukan ketimbang hidup tidak berbuah. Sesungguhnya Badari,
jaketnya, cangkir, pohon mangga, juga dinding rumah, merindukan disentuh mesra
tangan hangat Ismarliana, betapa tangannya itu mampu menghidupkan kembali padang
gersang, mengubah kandang haiwan jadi istana, membujuk pohon mangga
berbunga dan berbuah lebat, membuat jaket tak memudar sebab Ismarliana tahu
prosedur mencuci dengan benar, dan membuat daun kering tak akan mau gugur,
sebab tak sudi membiarkan tangan Ismarliana letih jadi keras menyapu keisengan
mereka.
Jaket
penghangat badan tadi, koyak di bagian ketiak, bagai gadis pingitan, malu ia
dibawa ke pasar, ke pusat keramaian, kedai kopi apa lagi di majelis pernikahan,
bisa berhamburan para undangan, tersebab baunya yang membuat mual tak tahan.
Selain minder, jaket penghangat badan Badari mengalami kebisuan, tak mampu
mencari teman, bahkan kecoa, lipas, cicak tak mau berdiam diri dalam
kehapakannya, serinya telah hilang kian hilang seiring warnanya yang memudar.
Paijo, sang penghantar air gallon turut membumbui berita Badari. Ceritanya pada
kita bahwa kecoa, lipas dan cicak, mereka sama-sama menenggak racun rumput yang
tak sengaja disenggol mata kaki Badari yang telah rabun, dan tak dibersihkan
semula, mereka tak sanggup lagi menahan menahun derita bersama kemelaratan
Badari. Kini hanya jaket penghangat badan yang tersisa, dalam diam ia bersyukur
karena kepergian cicak, curut, lipas dan kecoa telah meninggalkan setidaknya
bercak-bercak kotoran kenangan, dan ia bahagia, entahlah bila nanti tiba-tiba
Badari ingat cara mencuci dengan baik dan benar sebagaimana yang telah
Ismarlina ajar. [BERSUMBANG-BERSUMBING-BERSAMBUNG] Tunggu kelanjutannya ya…..
hehehe
0 komentar:
Tinggalkan Komentar anda ya,