Recent Posts

Selasa, 26 Juli 2016

0 komentar

Ada Yang Bertanya, Tentang Apa Yang Sedang Kurasakan Saat Ini



gambar dari: https://saritjiang.wordpress.com/2014/04/05/dua-cangkir-kopi-di-atas-meja/


Ada Yang Bertanya, Tentang Apa Yang Sedang Kurasakan Saat Ini
Oleh: Badari*
Yang kurasakan saat ini, secangkir kopi susu, kupesan dari kedai kopi yang telah akrab di lidah para pecinta kopi (khususnya di kotaku), karena alasan tertentu aku tak mau menyebut nama asli kedai itu, sebut saja dengan kedai kopi Usah Kau Kenang Lagi atau Kutunggu Jandamu.
Setelah meneguk sesendok kopi susu, aku memikirkan apa yang sebenarnya aku rasakan saat ini, mungkin seperti perasaan-perasaan yang diperas keadaan, semisal terpaksa menjadi guru sekolah swasta, dan terperangkap kepada banyak pilihan hidup yang menyelisihi kesehatan nafsuku. Semua perasaan terperas itu, sejenak kukaduk lebur dalam secangkir kopi susu, hitam dan putih menyatu.
Sebuah buku kumpulan cerpen terbaik Hamsat Rangkuti memenuhi keyakinanku yang jungkir balik, kubaca dari lipatan kertas halaman 112, cerpen yang berjudul Ketupat Gulai Paku kubaca dengan lancar, tapi ada gelisah yang tak bisa kusangkal, mungkin bosan, ingin segera pulang. Tergoda dengan beranjaknya satu-persatu pengunjung kedai kopi bercita rasa rakyat tepi kota, senja itu.
Begitulah, mitos malas membaca karena sibuk selalu ingin aku patahkan berkeping-keping, maka aku berjanji dalam hati untuk menyelesaikan satu buah cerpen lagi, sedang kopiku sudah kuteguk setengah cangkir (benarkah setengah cangkir, aku meragukan hitung-hitunganku, perlu kau ketahui menghitung adalah hal yang kubenci)
Baiklah, satu lagi cerpen penutup dari buku ini, setelah itu akan pulang dan mandi, begitu tekadku, seteguk lagi. Baru saja memulai paragraph pembuka cerpen berjudul Teka-Teki Orang Desa, aku menyadari dari ekor mata kananku, merasakan kehadiran seorang perempuan yang taka sing lagi dalam hidupku. Di tangannya secangkir kopi hitam, (tampaknya dia sedang menenggelamkan pahit hidupnya pada kopi yang legam), dengan bibirnya ia memberi isyarat agar aku mengizinkan dia duduk di depanku yang kosong, jadilah sekarang aku tak sendiri, berhadap-hadapan dengannya. Lantas kujawab dengan seulas senyuman ikhlas yang berarti silahkan. Aku terus membaca dan dia rela menunggu aku menyelesaikan tekadku tadi, dia paham dan menikmati tikaman nikmat pahit kopi.
Sekejap aku melongok di cangkir kopi susuku, kandas. Agak satu ini lagi yang tersisa, aku berfikir ini masih pantas untuk menemani sebuah cerpen lagi, cerpen ketiga yang aku baca berjudul Kunang-Kunang, kubiarkan perempuan di hadapanku itu menatap lekat, dia membaca kalimat-kalimat tak beralamat yang tertera di kerutan dahiku, dan aku jelas tak keberatan dengan tindakannya itu. sehingga selesailah cerpen Kunang-Kunang dengan titik mangsa Tanjung Pinang, 1992. Suatu kebetulan agaknya aku membaca itu dimana cerpen itu di buat, dan  tahun pembuatannya itu adalah tahun kelahiranmu, entah pula bulannya. (dalam buku kumpulan cerpen itu kutemu beberapa typo yang kumaafkan).
Kututup buku dan menatap perempuan yang ada di hadapanku, garis wajahnya tampak jelas tertitipi darah gadis-gadis arab, hidungnya tak begitu mancung juga pesek, menambah indah kesempurnaan ciptaan. Dahu sekali sejak kami masih satu almamater di kampus, kami telah berjanji untuk tidak pernah sekalipun bertanya tentang, “Bagaimana kabarmu, sehat?” ini pertanyaan tabu. Sebab, kita sepakat untuk telah menyiapkan jawaban jika seandainya salah seorang dari kami terlupa jawaban yang telah disiapkan sebelumnya, “Taka da yang benar-benar sehat, aku lebih sakit darimu, begitu pula kau lebih sakit dariku,”
Maka kata pertama yang keluar dari bibirnya adalah kata yang tak pernah ditulis resmi dalam kamus bahasa Indonesia, (jika tak percaya coba kau periksa sendiri), kata ini sebangsa dengan lenguhan nikmat khas wanita, atau senak yang tertahan-
Aku tak bisa berkata apa-apa kuteguk habis yang tersisa di cangkirku, 12.000 rupiah untuk harga dua cangkir kopi rakyat. Aku menarik tanganmu, saat itu warna langit meniru warna fajar, lampu-lampu jalanan yang bermata sendu menampakkan perasaan syahdunya, kami berjalan saja, sedang perempuan itu masih terisak-isak, kian bertambah sesak, tahan, kata ini umpama gemuruh sebelum rintih-rintih hujan luruh.
Kau terisak-isak kecil, tertahan. Aku lekas paham, lelaki tampan incaran para gadis saat kita kuliah dulu itu memang telah memetikmu, tapi lagi-lagi selalu tangis yang kau dapatkan darinya, kau mendapati dia hinggap ke bunga lainnya.
Tubuhnya tergoncang-goncang, derasnya kian kencang, dia menghentikan langkah, tak ada kata yang tepat untuk saat ini, hanya pelukan yang kukira untuk sementara mampu menenangkan kehampaannya. Kudekap saja tubuhnya yang dingin, lengan-lenganku tak menuruti kata hatiku, dia bukan milikmu Badari!, lama kami saling berdekapan, kedua tangannya kian dalam bersembunyi dalam tubuhku, pemandangan aneh ini mengundang tatapan ganjil yang mengganjal di benak kami, seliweran pasangan mata menyorot dari berbagai sisi ()di kota kami berpelukan di depan umum apa lagi di belakang umum *bagi bukan pasangan halal, ehm begitu tabu; sepah tebu, tak elok di pandang orang). (Bersambung… )


 *ini cerpen tersesat yang pernah saya buat, cerpen yang sekali duduk saya tulis di kertas (menuliskannya lagi ke tulisan ketik memang penuh perjuangan), cerpen ini rencananya besok saya lengkapi mentahannya, saya endapkan dulu untuk beberapa bulan, tadi waktu di kedai kopi sore saya begitu liar menghayalkan pertemuan dan berdialog dengan seseorang yang entah siapa, setelah benar-benar saya hampir menghabiskan satu buah buku baru kumpulan cerpen Hamsad Rangkuti, saya terpancing benar untuk berfikir dan menghayal, berangan tengan keinginan-keinginan yang kutubuhi.


0 komentar:

Tinggalkan Komentar anda ya,

Best viewed on firefox 5+

like

follow me

CAHAYA HATI

Copyright © Design by Dadang Herdiana