|
gambar dari: https://saritjiang.wordpress.com/2014/04/05/dua-cangkir-kopi-di-atas-meja/ |
Ada Yang Bertanya, Tentang Apa Yang Sedang Kurasakan Saat Ini
Oleh: Badari*
Yang kurasakan saat ini, secangkir kopi susu, kupesan dari kedai kopi
yang telah akrab di lidah para pecinta kopi (khususnya di kotaku), karena
alasan tertentu aku tak mau menyebut nama asli kedai itu, sebut saja dengan
kedai kopi Usah Kau Kenang Lagi atau Kutunggu Jandamu.
Setelah meneguk sesendok kopi susu, aku memikirkan apa yang
sebenarnya aku rasakan saat ini, mungkin seperti perasaan-perasaan yang diperas
keadaan, semisal terpaksa menjadi guru sekolah swasta, dan terperangkap kepada
banyak pilihan hidup yang menyelisihi kesehatan nafsuku. Semua perasaan
terperas itu, sejenak kukaduk lebur dalam secangkir kopi susu, hitam dan putih
menyatu.
Sebuah buku kumpulan cerpen terbaik Hamsat Rangkuti memenuhi
keyakinanku yang jungkir balik, kubaca dari lipatan kertas halaman 112, cerpen
yang berjudul Ketupat Gulai Paku kubaca dengan lancar, tapi ada gelisah
yang tak bisa kusangkal, mungkin bosan, ingin segera pulang. Tergoda dengan
beranjaknya satu-persatu pengunjung kedai kopi bercita rasa rakyat tepi
kota, senja itu.
Begitulah, mitos malas membaca karena sibuk selalu ingin aku
patahkan berkeping-keping, maka aku berjanji dalam hati untuk menyelesaikan
satu buah cerpen lagi, sedang kopiku sudah kuteguk setengah cangkir (benarkah
setengah cangkir, aku meragukan hitung-hitunganku, perlu kau ketahui menghitung
adalah hal yang kubenci)
Baiklah, satu lagi cerpen penutup dari buku ini, setelah itu akan
pulang dan mandi, begitu tekadku, seteguk lagi. Baru saja memulai paragraph pembuka
cerpen berjudul Teka-Teki Orang Desa, aku menyadari dari ekor mata
kananku, merasakan kehadiran seorang perempuan yang taka sing lagi dalam
hidupku. Di tangannya secangkir kopi hitam, (tampaknya dia sedang
menenggelamkan pahit hidupnya pada kopi yang legam), dengan bibirnya ia memberi
isyarat agar aku mengizinkan dia duduk di depanku yang kosong, jadilah sekarang
aku tak sendiri, berhadap-hadapan dengannya. Lantas kujawab dengan seulas
senyuman ikhlas yang berarti silahkan. Aku terus membaca dan dia rela menunggu
aku menyelesaikan tekadku tadi, dia paham dan menikmati tikaman nikmat pahit
kopi.
Sekejap aku melongok di cangkir kopi susuku, kandas. Agak satu ini
lagi yang tersisa, aku berfikir ini masih pantas untuk menemani sebuah cerpen
lagi, cerpen ketiga yang aku baca berjudul Kunang-Kunang, kubiarkan
perempuan di hadapanku itu menatap lekat, dia membaca kalimat-kalimat tak
beralamat yang tertera di kerutan dahiku, dan aku jelas tak keberatan dengan
tindakannya itu. sehingga selesailah cerpen Kunang-Kunang dengan
titik mangsa Tanjung Pinang, 1992. Suatu kebetulan agaknya aku membaca itu
dimana cerpen itu di buat, dan tahun
pembuatannya itu adalah tahun kelahiranmu, entah pula bulannya. (dalam buku
kumpulan cerpen itu kutemu beberapa typo yang kumaafkan).
Kututup buku dan menatap perempuan yang ada di hadapanku, garis
wajahnya tampak jelas tertitipi darah gadis-gadis arab, hidungnya tak begitu
mancung juga pesek, menambah indah kesempurnaan ciptaan. Dahu sekali sejak kami
masih satu almamater di kampus, kami telah berjanji untuk tidak pernah
sekalipun bertanya tentang, “Bagaimana kabarmu, sehat?” ini pertanyaan
tabu. Sebab, kita sepakat untuk telah menyiapkan jawaban jika seandainya salah
seorang dari kami terlupa jawaban yang telah disiapkan sebelumnya, “Taka da yang
benar-benar sehat, aku lebih sakit darimu, begitu pula kau lebih sakit dariku,”
Maka kata pertama yang keluar dari bibirnya adalah kata yang tak
pernah ditulis resmi dalam kamus bahasa Indonesia, (jika tak percaya coba kau
periksa sendiri), kata ini sebangsa dengan lenguhan nikmat khas wanita, atau senak
yang tertahan-
Aku tak bisa berkata apa-apa kuteguk habis yang tersisa di
cangkirku, 12.000 rupiah untuk harga dua cangkir kopi rakyat. Aku menarik
tanganmu, saat itu warna langit meniru warna fajar, lampu-lampu jalanan yang
bermata sendu menampakkan perasaan syahdunya, kami berjalan saja, sedang
perempuan itu masih terisak-isak, kian bertambah sesak, tahan, kata ini umpama
gemuruh sebelum rintih-rintih hujan luruh.
Kau terisak-isak kecil, tertahan. Aku lekas paham, lelaki tampan
incaran para gadis saat kita kuliah dulu itu memang telah memetikmu, tapi
lagi-lagi selalu tangis yang kau dapatkan darinya, kau mendapati dia hinggap ke
bunga lainnya.
Tubuhnya tergoncang-goncang, derasnya kian kencang, dia menghentikan
langkah, tak ada kata yang tepat untuk saat ini, hanya pelukan yang kukira
untuk sementara mampu menenangkan kehampaannya. Kudekap saja tubuhnya yang
dingin, lengan-lenganku tak menuruti kata hatiku, dia bukan milikmu Badari!,
lama kami saling berdekapan, kedua tangannya kian dalam bersembunyi dalam
tubuhku, pemandangan aneh ini mengundang tatapan ganjil yang mengganjal di
benak kami, seliweran pasangan mata menyorot dari berbagai sisi ()di kota kami
berpelukan di depan umum apa lagi di belakang umum *bagi bukan pasangan halal,
ehm begitu tabu; sepah tebu, tak elok di pandang orang). (Bersambung… )
*ini cerpen tersesat yang pernah saya buat, cerpen yang sekali duduk saya tulis di kertas (menuliskannya lagi ke tulisan ketik memang penuh perjuangan), cerpen ini rencananya besok saya lengkapi mentahannya, saya endapkan dulu untuk beberapa bulan, tadi waktu di kedai kopi sore saya begitu liar menghayalkan pertemuan dan berdialog dengan seseorang yang entah siapa, setelah benar-benar saya hampir menghabiskan satu buah buku baru kumpulan cerpen Hamsad Rangkuti, saya terpancing benar untuk berfikir dan menghayal, berangan tengan keinginan-keinginan yang kutubuhi.